Otoritarianisme Lokal dalam Demokrasi: Wajah Gelap Desentralisasi – Idiea News

Otoritarianisme Lokal dalam Demokrasi: Wajah Gelap Desentralisasi

Oleh: Chairunnisa
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional

Jakarta, IdieaNews.com – Di balik pujian terhadap desentralisasi dan otonomi daerah sebagai buah reformasi demokrasi, tersembunyi ironi yang jarang dibicarakan: bertahannya rezim otoriter di tingkat lokal. Demokrasi nasional yang hidup, tidak otomatis berarti demokrasi juga tumbuh di daerah. Sejumlah daerah justru menjadi kantong otoritarianisme yang tahan banting. Fenomena ini disebut oleh ilmuwan politik Edward Gibson sebagai otoritarianisme subnasional, dan ia tawarkan satu konsep kunci yang menjelaskan daya tahannya: boundary control.

Konsep ini menjelaskan bagaimana elit lokal mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan batas administratif, institusional, bahkan informasi, antara pemerintah pusat dan daerah. Mereka tidak hanya memerintah, tetapi juga mengisolasi wilayah kekuasaan mereka dari intervensi luar—terutama dari aktor-aktor nasional yang bisa menjadi ancaman terhadap hegemoni lokal.

Melalui kontrol atas birokrasi, lembaga hukum, partai lokal, hingga media daerah, para penguasa lokal mampu membangun semacam “benteng politik” yang tidak mudah ditembus. Bahkan ketika pusat sudah berganti rezim dan membuka kran demokrasi, daerah bisa tetap stagnan—dikuasai oleh dinasti, patronase, dan praktik politik eksklusif.

Antara Pusat dan Daerah: Siapa Lebih Demokratis?

Kita sering membayangkan bahwa ancaman terhadap demokrasi datang dari pusat. Namun, pengalaman negara-negara demokratis federal seperti Amerika Serikat, Argentina, dan Meksiko menunjukkan sebaliknya. Di negara-negara ini, pemerintah pusat telah lama demokratis, sementara beberapa negara bagian atau provinsi masih dikuasai oleh elit yang represif, eksklusif, dan antikritik.

Di AS, pada masa segregasi rasial, negara-negara bagian selatan menutup akses pemilih kulit hitam dengan cara-cara legal, dan ini berlangsung cukup lama meski pemerintah federal telah menjamin hak-hak sipil. Di Argentina dan Meksiko, reformasi nasional kerap terbentur oleh kekuatan politik lokal yang kuat, termasuk partai dominan yang menancapkan kuku kekuasaan melalui patronase.

Fenomena ini bisa dengan mudah kita temui di Indonesia. Beberapa kepala daerah memiliki pengaruh yang begitu kuat hingga tak tersentuh hukum, dan berulang kali terpilih melalui pemilu yang formalnya demokratis namun sesungguhnya tidak kompetitif. Bahkan, banyak di antaranya membangun dinasti politik yang menjadikan demokrasi lokal hanya sekadar prosedur, bukan substansi.

Membuka Batas, Menasionalisasi Konflik

Jika kekuasaan lokal tertutup dari tekanan luar, bagaimana demokratisasi bisa terjadi? Gibson menyarankan satu strategi: nasionalisasi konflik lokal. Artinya, masalah-masalah lokal tidak boleh dibiarkan tenggelam dalam batas administratifnya. Harus ada upaya untuk mengangkatnya ke tingkat nasional—melalui media, peradilan nasional, partai politik nasional, dan advokasi publik.

Ketika konflik atau ketimpangan di daerah berhasil menjadi perhatian publik nasional, maka batas kekuasaan lokal akan terbuka. Tekanan dari luar bisa masuk, dan dengan itu peluang perubahan pun terbentuk. Ini yang terjadi, misalnya, ketika media nasional mengangkat kasus-kasus korupsi kepala daerah atau ketika keputusan Mahkamah Agung membatalkan peraturan daerah yang diskriminatif.

Demokrasi Harus Seragam

Demokrasi tidak bisa hanya dinikmati oleh sebagian warga negara yang tinggal di pusat kekuasaan. Demokrasi harus seragam, tidak peduli seseorang tinggal di Jakarta, Sumba, atau Jayapura. Ketika ada daerah yang masih dikuasai oleh kekuatan otoriter, maka demokrasi kita sebenarnya belum tuntas.

Desentralisasi seharusnya menjadi kendaraan untuk memperkuat partisipasi rakyat, bukan menjadi ruang aman bagi para elit lokal untuk bersembunyi dari akuntabilitas. Pemerintah pusat, partai politik, media, dan masyarakat sipil harus lebih peka terhadap gejala otoritarianisme lokal ini.

Menjaga demokrasi berarti juga menjaga wilayah-wilayahnya dari regresi politik. Sebab jika tidak, yang kita punya bukanlah negara demokrasi, tapi negara demokrasi setengah matang—yang di dalamnya bercokol “raja-raja kecil” yang tak pernah dipilih secara adil, tapi terus menang.

Reporter : MJ

Scroll to Top